Mahasiswa aktif UIN Sunan Kalijaga
Menilai Putusan MK Soal Sekolah Gratis dengan Metode Dworkinian
Rabu, 4 Juni 2025 05:42 WIB
Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan hukum mengenai pendidikan yang memberi harapan banyak orang.
***
Pada Selasa, 27 Mei 2025, Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan hukum mengenai pendidikan yang memberi harapan banyak orang. Pasalnya, putusan tersebut mewajibkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar dan juga menengah.
Putusan ini pun mendapatkan banyak respon positif dan mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Masalah pendidikan yang selama ini menjadi permasalahan kunci di Indonesia perlahan mulai menemukan jalannya. Kabarnya putusan tersebut akan segera ditindak lanjuti dan segera direalisasikan.
Lalu, apakah putusan tersebut sudah memiliki integritas hukum dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum? Penulis akan menilai kinerja Mahkamah Konstitusi sebagai pengambil keputusan hukum berdasarkan informasi yang beredar di internet dengan menggunakan analisis hermeneutika hukum milik Ronald Dworkin. Melalui tulisan ini, diharapkan masyarakat dapat mengetahui bahwa saat ini Indonesia berada satu langkah menuju kemajuan hukum.
Duduk Perkara Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi untuk mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undan-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indoensia (JPPI), lembaga masyarakat sipil dan tiga orang lainnya yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika dan Riris Risma Ajiningrum. Pengajuan permohonan untuk pengujian undang-undang itu diajukan pada tanggal 11 Desember 2023, lalu diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 Februari 2024 setelah mendapatkan perbaikan.
Dalam kriteria hukum, mereka sebagai para pemohon digolongkan menjadi dua golongan yaitu pemohon organisasi dan pemohon individu yang memiliki kepentingan sama. JPPI sebagai pemohon organisasi memiliki misi untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan, namun dengan adanya kebijakan yang melenceng dari undang-undang, mereka mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan pemohon individu, melakukan pengajuan dengan alasan anak mereka yang sedang berada di sekolah swasta tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara yang seharusnya mereka dapatkan berdasarkan undang-undang. Lagi-lagi kegagalan pemerintah dalam melaksanakan hukum.
Undang-undang yang menjadi acuan para pemohon itu adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang frasa “Wajib Belajar minimal pada Jenjang Pendidikan Dasar tanpa Memungut Biaya”. Bunyi dari pasal tersebut tidak berhasil direalisasikan oleh pemerintah sehingga muncullah beberapa laporan pengajuan ini.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki alasan sudah berusaha melaksanakan bunyi pasal itu tetapi terkendala beberapa masalah seperti kurangnya dana operasional pendidikan dan banyak anak yang memang memilih untuk bersekolah di swasta atas keinginannya sendiri ataupun walinya.
Namun, ini tentu menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam merealisasikan hukum. Prinsip keadilan yang terdapat dalam undang-undang seakan-akan hanya sebagai legitimasi saja tanpa direalisasikan. Dengan ini, sudah jelas duduk perkaranya yaitu adanya laporan pengajuan tentang prinsip keadilan dalam undang-undang yang tidak berhasil direalisasikan oleh pemerintah.
Analisis Metode Dworkinian
Untuk mengurai penilaian mengenai putusan Mahkamah Konstitusi ini, penulis menggunakan analisis hermeneutika hukum milik Ronald Dworkin, salah satu ahli hukum dan filsuf asal Amerika. Ada beberapa alasan penulis menggunakan analisis Dworkin, selain karena sama-sama masalah hukum juga sama-sama menyangkut masalah prinsip moral yang sangat kental dengan pemikiran Dworkin yang seorang monis. Beberapa pengulas Dworkin menganggap Dworkin seorang monis karena ia mengandaikan adanya satu kesatuan nilai yang terwujud dalam berbagai macam bentuk seperti keadilan, kebebasan dan kesetaraan yang saling mendukung satu sama lainnya.
Dalam konteks hukum, Dworkin mengandaikan Judge Hercules, yaitu hakim yang memiliki integritas hukum. Artinya adalah hakim harus menafsirkan hukum yang konsisten dengan prinsip moral terbaik bagi masyarakat. Juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkannya; tetapi aktif mencari interpretasi paling adil. Poin pentingnya yaitu Judge Hercules ialah hakim ideal yang aktif menafsirkan hukum dengan menyesuaikan teks hukum, prinsip moral dan tujuan juga sejarah sehingga menghasilkan kebijaksanaan. Dworkin juga mempertimbangkan hak hukum setiap warga negara, yang artinya negara harus menghormati hak setiap warga negara secara serius tidak sekedar mempertimbangkan mayoritasnya saja tetapi secara keseluruhan.
Dalam konteks putusan hukum ini, Mahkamah Konstitusi berhasil menerapkan beberapa poin dalam pandangan Dworkin pada penetapan hukum. Pertama, Mahkamah Konstitusi berhasil mempertimbangkan prinsip keadilan dalam pengambilan keputusan hukum. Dalam teks hukum yaitu UU No 20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat 2 sudah terkandung nilai moral yang harus direalisasikan yaitu keadilan. Pertimbangan awal Mahkamah Konstitusi yang hanya berdasarkan anggaran yang tidak memadai berhasil dikoreksi dengan lebih mengutamakan prinsip moral yaitu keadilan. Inilah interpretasi paling adil yang berhasil dicapai oleh hakim.
Artinya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menganggap teks hukum sebagai alat kekuasaan tetapi prinsip moral yang harus dipertimbangkan secara serius. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi sudah memiliki integritas hukum yang patut dipuji.
Kedua, putusan MK sudah memenuhi prinsip dalam hermeneutika hukum yaitu gramatikal, historis, sistematis dan teleologis. Mahkamah Konstitusi berhasil memenuhi prinsip gramatikal dengan mengoreksi kebijakannya yang tidak sesuai dengan teks hukum. Mereka sadar bahwa mereka luput dalam mengartikan frasa “Tanpa Memungut Biaya”. Prinsip historis juga berhasil mereka penuhi dengan membandingkan maksud pembentukan teks hukumnya pada zaman Presiden Soeharto dan zaman sekarang.
Begitu juga prinsip ketiga yaitu sistematis, dengan menghubungkan satu aturan hukum dengan keseluruhan sistem hukum. Mahkamah Konstitusi dalam mempertimbangkan putusan hukumnya mengaitkan pasal ajuan dengan pasal lain yang memiliki prinsip yang sama. Sepereti pada isi putusannya yaitu Pasal 34 ayat 2 dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Pasal 9 yang sama-sama membahas wajib belajar.
Prinsip terakhir yang berhasil dipenuhi Mahkamah Konsitusi adalah prinsip teleologis yaitu menafsirkan berdasarkan tujuan hukum. Tujuan “mencerdaskan kehidupan kehidupan bangsa” yang ada dalam alinea ke-4 pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berhasil dibawa dalam putusan tersebut. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar dan menengah.
Konklusi Kritis
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan menengah akan sangat berdampak besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Apabila berjalan dengan lancar, anak-anak Indonesia yang pada awalnya harus membayar mahal untuk sekolah sampai ada yang putus sekolah bisa mendapatkan akses pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi sebagai hakim berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dengan membuat keputusan hukum yang ideal. Ini merupakan satu langkah kemajuan hukum di Indonesia. Keputusan yang ideal ini juga seharusnya juga dilaksanakan dan diregulasi secara ideal supaya dampaknya benar-benar terasa. Harapan selanjutnya akan diserahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan dan meregulasi keputusan yang ideal itu.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Menilai Putusan MK Soal Sekolah Gratis dengan Metode Dworkinian
Rabu, 4 Juni 2025 05:42 WIB
Menonton Film Juga Bentuk Produktivitas
Jumat, 30 Mei 2025 20:12 WIBArtikel Terpopuler